Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023. Kasus ini bermula dari keluhan masyarakat mengenai kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) yang buruk, khususnya terkait kadar oktan yang tidak sesuai standar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan banyak laporan warga yang menyebutkan kadar oktan BBM lebih rendah dari yang tertera. Modus yang digunakan diduga melibatkan manipulasi pengadaan impor produk kilang. Pertamina Patra Niaga diduga mengimpor bahan bakar dengan oktan 90, tetapi menyatakannya sebagai oktan 92 dan mematok harga oktan 92.
Dampak Dugaan Korupsi terhadap Publik dan Kualitas BBM
Pengungkapan kasus ini tentu saja menimbulkan keresahan dan ketidakpercayaan publik terhadap kualitas BBM Pertamina. Banyak yang meragukan kadar oktan, terutama pada produk Pertamax. Kepercayaan konsumen terhadap SPBU Pertamina menjadi taruhannya. Hal ini berdampak pada citra perusahaan dan potensi penurunan penjualan.
Ketidakpastian kualitas BBM berdampak luas, mulai dari performa kendaraan hingga potensi kerusakan mesin jangka panjang. Konsumen membutuhkan kepastian dan transparansi mengenai kualitas produk yang mereka konsumsi. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk memastikan hal tersebut.
Solusi dan Upaya Transparansi
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu peningkatan pengawasan dan regulasi yang lebih ketat dalam proses pengadaan dan distribusi BBM. Peningkatan kualitas kontrol mutu di setiap tahap, dari impor hingga penyaluran ke SPBU, sangat penting.
Selain itu, diperlukan peningkatan transparansi informasi kepada publik terkait kualitas BBM. Mekanisme pelaporan dan pengaduan yang mudah diakses serta responsif sangat dibutuhkan. Kepercayaan publik akan kembali jika terdapat jaminan kualitas dan transparansi yang memadai.
Alternatif Pemeriksaan Kadar Oktan
Bagi konsumen yang ingin memastikan kadar oktan BBM yang digunakan, tersedia alat tes oktan di pasaran. Alat ini umumnya digunakan oleh pegiat balap untuk memeriksa bahan bakar sebelum kompetisi. Namun, harga alat tes oktan cukup tinggi, berkisar antara Rp4 juta hingga Rp8 juta, bahkan ada yang mencapai Rp55 juta. Ketersediaan alat ini bagi masyarakat umum masih terbatas.
Meskipun demikian, keberadaan alat tes oktan ini setidaknya memberi alternatif bagi konsumen yang ingin melakukan pengecekan mandiri. Namun, aksesibilitas dan biaya menjadi pertimbangan utama bagi sebagian besar konsumen.
Perlu Dilakukan Pemerintah
Kasus dugaan korupsi ini menjadi momentum untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam pengelolaan BBM di Indonesia, mengutamakan transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan masyarakat.